Sebuah naskah hidup terukir dengan bengis pada sebuah kertas usang yang kotor.
Goresan-goresan rasa sakit, bercampur menjadi sebuah candu yang menyesakkan.
Baik penulis, maupun sang penikmat, sama-sama muak akan apa yang mereka hadapi kemudian.
Goresan-goresan rasa sakit, bercampur menjadi sebuah candu yang menyesakkan.
Baik penulis, maupun sang penikmat, sama-sama muak akan apa yang mereka hadapi kemudian.
Kenapa bisa begini? Begitu banyak para munafik yang merasa benar diantara kesalahan orang lain, seolah dia diciptakan sebagai korban dan pahlawan diwaktu yang bersamaan.
Aku jengah, sejengah sebuah drama yang dilakoni sungguh-sungguh bahkan oleh orang yang sama sekali tidak pantas.
Aku jengah, sejengah sebuah drama yang dilakoni sungguh-sungguh bahkan oleh orang yang sama sekali tidak pantas.
Skenarionya sangat matang,alur cerita pun dibuat sepedih mungkin,aku digiring sedemikian rupa pada sandiwara kotor yang terpaksa aku nikmati dengan mata telanjang.
Busuk..!! Adakah kata yang lebih halus dari itu?
Busuk..!! Adakah kata yang lebih halus dari itu?
Nyatanya mereka itu benar-benar busuk.
Punya satu wajah yang tersenyum ramah di bagian depan, sekaligus wajah lain yang tidak kalah santun dibagian belakang.
Punya satu wajah yang tersenyum ramah di bagian depan, sekaligus wajah lain yang tidak kalah santun dibagian belakang.
Tidak..aku bukan tidak mampu memberontak. Hanya saja, bukankah tidak baik menjadi waras ditengah gerombolan para orang gila?
Mereka pura-pura menangis meski dalam hati mereka tidak perduli.
Mereka pura-pura bijak padahal kedewasaan pun tidak pernah mampu mereka buktikan.
Mereka benar, dan orang lain salah.
Mereka sutradara dan orang lain pemeran.
Mengkambing hitamkan karakter yang mereka buat sendiri, untuk kemudian mereka jadikan alasan bahwa merekalah pahlawan sebenarnya.
Apa definisi pahlawan bagi mereka?
Siapa pahlawan sebenarnya bagi mereka?
Seseorang yang datang di akhir sebuah kisah dan meluruskan apa yang mereka anggap telah bengkok sebelumnya?
Lalu kenapa harus datang diakhir sebuah cerita?
Kenapa tidak di awal cerita? Atau mungkin dipertengahan cerita?
Bukankah meluruskan hal yang bengkok juga harus disertai manfaatnya setelah lurus kembali?
Mereka kawan diwaktu yang sama.
Mereka pun lawan diwaktu yang lain lagi.
Bertukar tempat sesuai kemauan mereka sendiri.
Agar mereka tetap harum, meski korban mereka mengeluarkan bau busuk.
Siapapun bisa mereka korbankan, walaupun itu “sahabat” mereka sendiri.
Mereka Absurd..seperti tulisan ini.
Yogyakarta, 24-09-2019