Hey, kamu yang dulu memilih pergi. Bagaimana kabarmu hari ini?
Sudah cukup lama kita tak bersua. Sibuk apakah kau akhir-akhir ini? Masihkah bergelut dengan hobimu yang dulu?
Bolehkah aku bertanya perihal orangtuamu juga? Sehat-sehat sajakah mereka, seiring dengan bertambahnya usia? Jujur, aku sangat rindu berbincang dengan keduanya. Kubayangkan mereka masih sama hangatnya seperti dulu, saat aku masih bersamamu.
Sudah cukup lama kita tak bersua. Sibuk apakah kau akhir-akhir ini? Masihkah bergelut dengan hobimu yang dulu?
Bolehkah aku bertanya perihal orangtuamu juga? Sehat-sehat sajakah mereka, seiring dengan bertambahnya usia? Jujur, aku sangat rindu berbincang dengan keduanya. Kubayangkan mereka masih sama hangatnya seperti dulu, saat aku masih bersamamu.
Lama sekali rasanya sejak pertemuan kita yang terakhir. Sejak pertemuan di mana kau berkata kau tak lagi cinta, bahwa sudah saatnya bagi kita untuk tak lagi bersama.
“Oh,” jawabku. Oh. Aku kehabisan kata-kata.
“Oh,” jawabku. Oh. Aku kehabisan kata-kata.
Sepanjang sisa pertemuan aku berusaha terlihat tenang, tak sudi memperlihatkan air mata. Baru saat kembali ke kamar sendirian aku menangis tanpa jeda. Esok paginya dan pada beberapa pagi setelahnya aku bangun dengan bengkak di kedua mata dan nyeri hebat di kepala.
Jangan salahkan aku jika sempat percaya bahwa kau istimewa. Bagaimanapun, kita pernah bahagia.
Aku adalah pihak yang ditinggalkan. Bohong jika kubilang itu tak menyakitkan.
Kekurangan apa yang kumiliki, sampai orang yang kusayangi memutuskan pergi?
Pertanyaan itu yang selalu berputar di kepalaku di hari-hari pertama setelah perpisahan kita sampai sekarang. Memang akulah pihak yang ditinggalkan di sini. Bohong jika kubilang itu tak membuatku sakit hati.
Jangan salahkan aku jika sempat percaya bahwa kau istimewa. Bagaimanapun, kita pernah bahagia.
Aku adalah pihak yang ditinggalkan. Bohong jika kubilang itu tak menyakitkan.
Kekurangan apa yang kumiliki, sampai orang yang kusayangi memutuskan pergi?
Pertanyaan itu yang selalu berputar di kepalaku di hari-hari pertama setelah perpisahan kita sampai sekarang. Memang akulah pihak yang ditinggalkan di sini. Bohong jika kubilang itu tak membuatku sakit hati.
Kau tak akan pernah tahu apa yang kurasakan, bagaimana aku berusaha bertahan. Mendengar namamu diucapkan saja membuatku harus mengingatkan diri untuk tenang dan mengambil napas dalam-dalam. Melintasi tempat-tempat yang dulu punya makna untuk kita, memegang barang-barang yang pernah menjadikan hidupku lebih berwarna hubungan yang kita jalani terlalu panjang untuk tak menyisakan memori. Pernahkah kau mengira bahwa aku akan jatuh sedalam ini?
Aku selalu mengagumi karaktermu yang mudah legawa dan lupa. Ingin rasanya jadi dirimu, yang begitu mudah melepas masa lalu.
Aku selalu mengagumi karaktermu yang mudah legawa dan lupa. Ingin rasanya jadi dirimu, yang begitu mudah melepas masa lalu.
Tidak, aku tak ingin bersikap sinis di sini. Justru sifat legawa dan santaimu itu yang sejak dulu kukagumi. Bagimu, berhenti peduli pada orang-orang yang pernah kau sayangi adalah semudah menjentikkan jari. Ketika hubunganmu dengan mereka menemui kendala, kau tak akan tergerak untuk menyelesaikannya. Buat apa repot-repot? Pikirmu. Lebih baik kau tinggal saja.
Aku iri padamu, yang begitu mudah melepas masa lalu. Berbeda darimu, aku tak bisa begitu. Butuh waktu lama bagiku untuk menerima bahwa bagiku kau titik dan bagimu aku tanda tanya. Butuh waktu lama untuk menerima bahwa kau tak lagi cinta,bahwa bagimu, jauh lebih menarik untuk mencari orang lain yang baru ketimbang mempertahankanku.
Memang butuh waktu lama. Namun aku berhasil melakukannya.
Kini aku sudah jauh lebih bahagia. Pelan tapi pasti, aku memaafkan yang terjadi di antara kita.
Memang butuh waktu lama. Namun aku berhasil melakukannya.
Kini aku sudah jauh lebih bahagia. Pelan tapi pasti, aku memaafkan yang terjadi di antara kita.
“Proses penyembuhan”ku berlangsung pelan-pelan. Tak seperti dirimu, aku memang tak bisa langsung memasang wajah tak peduli dan menjalani hari seolah tak ada apa-apa yang terjadi. Di hari-hari pertama setelah kita tak lagi bersama, aku kerap tenggelam dalam luapan emosi yang tiba-tiba datang.
Teman-teman dan keluargalah yang membantuku bertahan. Ketika aku mengikrarkan diri tak layak dicintai, mereka “menghajarku” dengan cinta yang tulus dan sebenarnya. Mereka meyakinkanku, hidup adalah lebih dari apa yang pernah kumiliki denganmu. Bahwa masa depan menjanjikan lebih banyak kebaikan dari masa lalu. Aku pun mendidik hati untuk menerima. Meyakini bahwa Tuhan sedang menyiapkan yang terbaik dari atas sana.
Teman-teman dan keluargalah yang membantuku bertahan. Ketika aku mengikrarkan diri tak layak dicintai, mereka “menghajarku” dengan cinta yang tulus dan sebenarnya. Mereka meyakinkanku, hidup adalah lebih dari apa yang pernah kumiliki denganmu. Bahwa masa depan menjanjikan lebih banyak kebaikan dari masa lalu. Aku pun mendidik hati untuk menerima. Meyakini bahwa Tuhan sedang menyiapkan yang terbaik dari atas sana.
Aku berhenti mengasihani diri sendiri, berhenti menyalahkanmu, menyalahkan aku, menyalahkan keadaan. Pelan tapi pasti, aku memaafkan apa yang terjadi.
Kini aku sudah jauh lebih bahagia. Sudah kuterima bahwa kita memang harus diakhiri bahwa perasaanku memang harus diaborsi.
Terima kasih telah menjadikanku lebih kuat dan dewasa. Hidupku yang sebenarnya baru dimulai setelah kau tak ada.
Kini aku sudah jauh lebih bahagia. Sudah kuterima bahwa kita memang harus diakhiri bahwa perasaanku memang harus diaborsi.
Terima kasih telah menjadikanku lebih kuat dan dewasa. Hidupku yang sebenarnya baru dimulai setelah kau tak ada.
Jogjakarta,04-09-2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar