Beberapa bulan lalu aku kehilangan gairah menulis.
Padahal biasanya aku hanya butuh secangkir kopi dan sedikit gerimis.
Atau, sekilas melihat senyummu, mampu ku lahirkan puisi manis berlapis-lapis.
Masih tidak terarah tulisan ini untuk siapa, aku hanya gelisah dan mencoba menuangkan segalanya.
Pukul empat sore..
Hujan membumi membasahi seluruh tapak jalan kota ini.
Anak-anak kecil berlarian tanpa busana, tertawa, beberapa diteriaki ibunya, dengan langkah gontai dan wajah tentunduk lesu, ia berakhir menjadi penonton dari beranda rumah dan yang satunya mengintip dari jendela kaca.
Untukmu, kelak anakku jangan kau tarik telinganya ketika hujan tiba, padahal kakinya gatal sekali ingin menjejak rumput basah di taman.
Biarkan ia menyukai hujan seperti ayahnya, biarkan ia berlarian dan tertawa bersama teman-temannya.
Biarkan ia mengukir kenangan yang tidak terlupakan.
Karena kelak jika ia dewasa, ketika hujan tiba, ia akan memilih menyeruput mie kuah panas dan berselimut didalam kamar.
Masa kanak nya cukup singkat dan hanya sekali sayang.
Untukmu, kelak aku akan menua, aku tak akan puitis dan menarik selamanya. Ekspektasimu akan terbentang jauh dari realita.
Apapun keadaanku
Jangan beranjak pergi
Aku ingin menua dan mati
Bersamamu.
Ah, lagi-lagi tulisan ini bermuara padamu bukan??
Hey ibunya anakku..
Aku mencintaimu.
Yogyakarta, 5-2-2021